Monday, December 2, 2019


BEBERAPA JENIS CENDAWAN YANG MENYERANG BIJI JAGUNG

Ayyub Arrahman dan M.Sudjak Saenong
Balai Penelitian Tanaman Serealia Maros

PENDAHULUAN
Menurut Muis et al. (2002) cendawan yang menginfeksi biji dipenyimpanan dapat bersumber dari cendawan yang menyerang tanaman jagung di lapangan, hal ini bisa terjadi apabila penanganan pasca panen kurang bagus. Hasil survey yang dilakukan Muis et al. (2002) menunjukkan bahwa dari sampel-sampel biji jagung yang dikumpulkan di lapangan, di rumah petani, dan gudang penyimpanan, menunjukkan bahwa ada tujuh spesies cendawan yang menyerang biji jagung yaitu Diplodia sp., Fusarium sp., Pennicillium sp., Clados-porium sp., Rhizopus sp., Aspergillus spp., dan Trichoderma sp. Dari ketujuh spesies cendawan tersebut yang dominan adalah Aspergillus spp. Pakki et al (2002) mengemukakan bahwa spesies Aspergullius yang dominan ditemukan tersebut adalah A. flavus, selain itu juga ditemukan A. niger namun populasinya rendah.


Menurut Semangun (1981) telah ditemukan 10 jenis cendawan yang menyerang biji jagung, yang dikumpulkan (diambil) dari petani dan pedagang di Jawa Barat dan Sumatera Barat. Jenis cendawan yang dimaksud adalah Botryodiplodia theobzomae, Curvularia spp., Fusarium spp., Nigospora oryzae, Cephosporium acremonium, Phoma sp., Aspergillus spp., Penicillium sp., Diplodia maydis, dan Coletrorichum giniculatum.

Cendawan A. flavus sangat berbahaya karena dapat memproduksi mikotoksin yang disebut aflatoksin. Hasil survey Dharmaputra (1992) dengan mengambil sampel biji jagung pada petani, pedagang menengah, dan pedagang besar bervariasi. Jagung yang diambil dari keempat sumber tersebut terserang cendawan A. flavus dengan populasi yang relatif tinggi dan terkontaminasi oleh aflatoksin dengan konsentrasi yang cukup tinggi yaitu 23 – 267 ppb (Dharmaputra et al., 1993).

Menurut Shurtleff (1980) bila menyerang ternak aflatoksin dapat menyebabkan penurunan berat badan, pertumbuhan yang jelek, dan bahkan kematian. Ternak muda lebih peka dibanding yang lebih tua. Aflatoksin ini juga dapat menyebabkan gagalnya pengaruh vaksin pada ternak.

Hamilton (1986) melaporkan bahwa aflatoksin sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kanker pada hati manusia, keguguran, dan penurunan produksi susu dan daging pada ternak. Karenanya FAO telah menetapkan batas maksimal kandungan aflatoksin 30 ppb (Baiton et al., 1980).

Selain Aspergillus spp., cendawan Fusarium sp., dan Penicillium sp. juga dapat menyebabkan penyakit pada ternak dan manusia (Shurtleff, 1980; Semangun, 1991). Selanjutnya dikemukakan bahwa cendawan Fusarium gramineacerum membentuk racun-racun deoksinivelanol (vomitoksin) nivalenol dan zearalenon. Zearalenon dapat menimbulkan hiperestrogenisme pada ternak betina yang menyebabkannya menjadi mandul. Racun-racun tersebut tidak hanya dibentuk di dalam biji, tetapi juga didalam tanaman jagung yang sakit (Bahri et al., 1989). Ochratoksin yang umumnya dihasilkan oleh penicillium viridicatum dapat menyebabkan penyakit diare pada ternak. Gejala serangan Aspergillus spp. pada biji adalah adanya warna hitam atau hijau kekuning-kuningan pada biji atau diantara biji pada tongkol. Cendawan ini bisa tumbuh pada biji-biji yang rusak. Menurut Rane et al. (2001) cendawan ini muncul pada keadaan cuaca panas, udara kering, kerusakan akibat cekaman kekeringan atau kerusakan oleh serangga. Cendawan tumbuh pada penyimpanan bila kelembaban diatas 18%.

Tongkol yang terserang Diplodia sp. tidak menampakkan gejala serangan dari luar, namun bila dipatahkan dan biji dipipil nampak cendawan berwarna putih diantara biji. Serangannya biasanya dimulai pada bagian-bagian bawah tongkol. Serangan cendawan ini umumnya terjadi pada pola tanaman jagung diikuti dengan jagung (Munkvold, 1986). Keadaan iklim yang kering diikuti iklim basah yang tidak normal sebelum atau setelah pembungaan adalah keadaan yang bagi pertumbuhan cendawan Diplodia sp. (University of Illinois, 1991).

Cendawan Fusarium sp. yang sebagai penyebab penyakit busuk tongkol menyebabkan pembusukan berwarna merah jambu sampai coklat kemerahan atau coklat kelabu, tergantung dari banyak sedikitnya cendawan dan cuaca (Semangun, 1991). Cendawan Fusarium sp. tumbuh baik kondisi iklim kering dan hangat. Infeksi terjadi karena adanya kerusakan biji akibat serangga atau cekaman lingkungan (Rane, 2001).

Penicillium sp. menimbulkan gejala serangan pada biji ditandai dengan adanya tepung yang berwarna hijau atau biru kehijauan pada atau diantara biji. Menurut Shurtleff (1980) cendawan ini terdapat pada biji/benih yang disimpan pada kelembaban yang tinggi. Serangan cendawan ini terjadi khususnya pada biji yang rusak secara mekanik atau rusak karena serangan hama penggerek tongkol.
Gejala serangan Cladosporium sp. ialah cendawannya berwarna abu-abu sampai hitam atau hijau tua dan biasanya terlihat tepung pada biji (Munkvold, 1986). Jika biji tertutupi secara keseluruhan oleh cendawan, maka biji tersebut berwarna gelap dan bobotnya ringan. Cladosporium sp. sering menyerang biji yang rusak akibat serangga, hujan lebat dan cuaca dingin.

Tongkol/biji yang terserang Rhizopus sp. ditandai dengan adanya cendawan berwarna putih menutupi tongkol dan nampak sejumlah sporangia yang berwarna hitam. Rhizopus sp. biasanya ditemukan pada biji yang rusak oleh serangga atau hujan lebat dalam beberapa minggu setelah pembungaan (University of Illinois, 1991).


DAFTAR PUSTAKA
Baco, D., M. Yasin, J. Tandiabang, dan T. Lando. 1992. Pengendalian hama gudang dengan berbagai wadah penyimpanan.
Bahri, S., E. Taringan, R. Maryam, dan Ng. Ginting. 1989. Kandungan mikotoksin, Fusarium secara alami pada akar, batang, dan daun tanaman jagung. Kongres Nasional PFI Denpasar. pp.160-164.
Baiton, S.J., R.D. Coker, B.D. Jones, E.M. Morley, M.J. Nagler, and R.I. Tunner. 1980. Mycotoxin Training Manual. Tropical Product Institute London. P.18-62.
Cole, R.J., R.A. Hill., P.D. Blankenship, T.H. Sandera, and K.H. Garren. 1982. Influence of irrigation and drought stress of invasion by Aspergillus flavus of corn kernels and peanut pods. Reprinted form Developments in Industrial Microbiology. Vol.23. Publication of Society for Industrial Microbiology.
Dharmaputra, O.S., H.S.S. Tjitrosomo, M. Sidik, and H. Halid. 1992. The effect of phosphine on storage fungi of maize. Biotrop Special Publication No. 45. 107-119.
Dharmaputra, O.S., I. Retnowati, Sunjaya, dan S. Ambarwatu. 1993. Populasi Aspergillus flavus dan kandungan aflatoksin pada jagung ditingkat petani dan pedagang di Propinsi Lampung. Risalah Kongres Nasional PFI XI dan Seminar Ilmiah PFI, Yogyakarta, 6-8 September 1993. p.560-566.
Dharmaputra, O.S., Sunjaya, dan W. Wakman. 1998. Penanganan pasca panen, serangan serangga, dan cendawan, serta kontaminasi aflatoksi pada jagung. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung. Badan Litbang Pertanian,. Puslitbangtan. Balitjas. Hal.594-604.
Hamilton, P.B. 1986. Aflatoxicosis in farm animals. Aflatoxin in maize. A proceeding of the workshop. El Batan. Mexico, April 7-11, 1986. p.51-57.
Joko, S.U. 1990.  Penentuan umur panen jagung varietas Arjuna. Risalah Hasil Penelitian Tanaman Pangan. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang.
Muis, A., S. Pakki, dan A.H. Talanca. 2002. Inventarisasi dan identifikasi cendawan yang meneyrang biji/benih jagung di Sulawesi Selatan. Hasil Penelitian Hama dan Penyakit. Balitjas, 2002.
Munkvold, G. 1986. Identyfying ear rot diseases integrated crop management. Dept. of Plant Pathology. Iowa State University.
Pakki, S., A.H. Talanca, dan W. Wakman. 2003. Inventarisasi dan identifikasi cendawan yang menyerang biji/benih jagung. Hasil Penelitian Hama dan Penyakit. Balitsereal. 2003.
Purwadaria, H.K. 1988. Buku Pegangan  Teknologi Penanganan Pasca Panen Jagung (ed. 2) Deptan FAO, UNDP-Jakarta Indonesia.
Rane, K.G. Ruhi, and Sellers. 2001. Crop Diseases in Corn, Soybean, and Wheat. Dept. Of. Botany and Plant Pathology Purdue Unievrsity West Lavayette.
Semangun, H. 1991.  Penyakit-penyakit tanaman pangan di Indonesia. Gadjah Mada University Press. 49 p.
Shurtleff, M.C. 1980. Compendium of corn diseases, 2nd Ed. The American Phytopathological Sosiety. 105 p.
Sudaryono, T., Erwidodo, dan A. Purwoto. 1994. Pola konsumsi beras, jagung, dan kedelai, serta implikasinya terhadap proyeksi permintaan. Hal.122-142. Dalam Mahyuddin Syam et al. (eds). Prosiding Simposium Penelitian Pangan III. Buku I. Kebijaksaan dan hasil utama penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
University of Illinois. 1991. Integarted Pest Management. Corn ear and Kernel rots.
Wyatt, R.D. 1976. How to minimize problem in your feed. Poult. Trib., September:24-27.
Yadgiri, B. and E.M. Reddy. 1976. Aflatoxicoses in poultry. Poult Advis, April:35-40