Tuesday, November 19, 2019


HAMA TIKUS PADA EKOSISTEM SAWAH

Ayyub Arrahman dan M.Sudjak Saenong
Balai Penelitian Tanaman Serealia Maros

PENDAHULUAN
Didukung oleh potensi reproduksi tikus yang tinggi dengan masa bunting dan menyusui yang singkat maka hama ini mempunyai arti dan peranan yang sangat berarti dalam menekan usaha peningkatan produktivitas hasil. Pada percobaan laboratorium, tercatat bahwa dalam 6 bulan saja seekor tikus dapat melahirkan rata-rata 4 kali pada selang waktu 1-1,5 bulan dengan jumlah keturunan 5-12 ekor dengan nisbah kelamin 1:1 (Rochman dan Sukarna,1991). Masa bunting paling banyak justru pada saat tanaman padi berada pada fase generatif (masa bunting-matang susu), sehingga jelas bahwa ternyata masa reproduksi aktif hama tikus akan kondusif dengan masa reproduksi aktif tanaman.


Identifikasi strategi yang cocok untuk mengendalikan hama tikus telah banyak dilakukan yakni secara umum adalah menciptakan kondisi ekologi sekitar agar tidak sesuai dengan habitat tikus (Tandiabang dan Koesnang,1999). Pemahaman tentang sejarah kehidupan tikus (life history) seperti perilaku dan bagaimana perubahannya sebagai fungsi dari faktor abiotik dan biotik seharusnya merupakan titik awal dalam mengevaluasi dan menentukan prosedur pengendalian tikus (Colvin,1990), dengan teknologi yang tepat, mudah diaplikasi dan mudah dimengerti petani guna menekan kehilangan hasil oleh infestasi hama ini.

BIOEKOLOGI HAMA TIKUS
Perkembangbiakan dan Pola Makan

Tikus mempunyai potensi berkembangbiak yang sangat besar. Seekor betina mampu melahirkan 10-12 ekor keturunan dengan kemampuan akomodasi embrio sekitar 18 embrio. Pada masa puncak perkembangbiakan, tikus betina sangat aktif dan dapat bunting lagi pada kondisi anak masih dalam susuan. Tikus betina mampu mengasuh 2-3 generasi dengan selisih umur antar generasi satu bulan. Masa menyusui berlangsung 3-4 minggu dan menyapih anaknya setelah berumur satu bulan (Rochman  et al., 1998).

Pada daerah yang pola tanamnya teratur dan serempak, perkembangbiakan tikus mengikuti pola yang teratur pula. Hal ini disebabkan karena perkembangbiakan tikus terkait erat dengan ketersediaan pakan baik kualitas maupun kuantitas. Rochman et al. (1982) menemukan bahwa pada daerah-daerah yang berpola tanam padi-padi setahun terdapat dua periode yang sangat menguntungkan bagi terjadinya proses reproduksi hama ini.

Habitat dan Ruang Gerak
Habitat tikus mempunyai agro-ekosistem yang berbeda tergantung pada spesis tikus. Untuk jenis  Rattus norvegicus, R. rattus, dan Mus musculus biasanya berada pada pemukiman manusia, rumah dan gudang, sedangkan untuk jenis R. argentiventer, R. exulan dan Bandicota indica berada di areal pertanaman atau di luar pemukiman manusia. Walaupun demikian, bisa saja suatu saat tikus yang tinggal dipemukinan akan berpindah (migrasi) ke areal pertanaman terutama jika kondisi pakan berkurang. Distribusi dari R.argentiventer, R.exulan dan B.indica hanya disekitar Asia Selatan dan Tenggara, sedangkan R.norvegicus, R.rattus dan M.musculus mempunyai distribusi geografi yang menyebar ke seluruh dunia sehingga disebut hewan kosmopolitan (Thamrin et al., 1998).

Tikus adalah mamalia nocturnal (malam) yang mencari makan, pasangan dan orientasi kawasan pada saat setelah matahari terbenam dan menjelang matahari terbit (Brook dan Rowe, 1979). Tikus bergerak menempuh perjalanan mempunyai lintasan yang tetap dan teratur (run ways). Rentang lintasan ditentukan oleh jarak pakan, tempat bersembunyi atau lubang. Pada stadia bera, masa pengolahan tanah, persemaian dan stadia bertunas, rentang jarak lintasan agak jauh, yakni 100-200 m semalam, dengan luas teritorial antara 0,25-1 ha, bila padi pada stadia generatif, jarak tersebut hanya 50-125m dengan luas teritorial 0,025-0,1 ha semalam (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, 1992).

Pakan dan Preferensi Makan
Tikus adalah binatang pemakan segala (omnivora), oleh sebab itu mampu mengkonsumsi segala jenis pakan yang ada di sekitarnya mulai dari jenis padi-padian, ubi-ubian, kacang-kacangan, bahkan dapat mengkonsumsi serangga dan sifut. Kemampuan mengkonsumsi pakan bervariasi menurut jenis pakan yang tersedia. Pada pakan beras kemampuan konsumsinya sekitar 10g/hari, ubi jalar 23,6g/hari, ubi kayu 20,6g/hari, jagung pipil 8,2g/hari, kacang tanah 7,2g/hari sedang pada ikan teri 4,0g/hari. Apabila pakan tersebut di atas diberikan secara bersamaan, maka preferensi makannya tertuju kepada beras (Rochman dan Sukarna,1991).

STRATEGI PENGENDALIAN
Kegiatan pengendalian tikus seyogianya dirancang secara sistematis yang disesuaikan dengan kondisi persawahan dan stadia tanaman, misalnya pada kondisi lahan sawah masih bera berbeda taktis operasionalnya dengan sawah yang sudah memasuki masa olah tanah. Kegiatan pengendalian pada kondisi tanaman fase vegetatif berbeda dengan pengendalian pada fase generatif. Untuk mencapai hasil yang maksimal, maka kegiatan-kegiatan pengendalian seperti tertib tanam, sanitasi lingkungan sekitar persawahan dan habitat, usaha gropyokan, pemasangan umpan beracun dan pengemposan belerang harus singkron dengan kondisi lahan dan tanaman.

KOMPONEN TEKNOLOGI PENGENDALIAN
Komponen teknologi pengendalian tikus secara garis besar dapat dibagi dalam beberapa langkah yakni: manipulasi habitat, pengendalian secara fisik/ mekanis, pengendalian biologis, dan pengendalian kimiawi. Manipulasi habitat tujuannya: mengurangi atau mengeleminir unsur-unsur yang memberi kesempatan pada tikus untuk leluasa berkembang (pembersihan gulma, jadwal tanam yang sinkron, merampingkan dan mengurangin tinggi pematang, pembersihan vegetasi yang ada disekitar sawah dan penundaan waktu tanam), melakukan tindakan tertib tanam yang dilaksanakan pada fase pengolahan tanah dan fase generatif, melakukan kegiatan sanitasi yang dilaksanakan pada fase pengolahan tanah, fase vegetatif dan generatif.

Pengendalian fisik/mekanik dapat berupa : melakukan gropyokan yakni dengan menggali dan membakar lubang tikus. Menggunakan bubu pada persemaian yang telah dipagari plastik. Kegiatan gropyokan dilaksanakan pada fase bera, pengolahan tanah dan fase generatif, menggunakan bubu yang dikombinasikan dengan umpan gabah berkecambah dari stadia persemaian – 30 HST. Pengunaan bambu panjang 2 m yang diletakkan dipinggir pematang dari mulai primordia - panen untuk menjebak tikus, penggunaan komponen perangkap bubu yang terdiri atas perangkap multiple capture trap, pagar plastik dan tanaman perangkap, dan dipasang dalam periode yang agak lama di lapangan, penggunaan tanaman perangkap (IR64) yang ditanam lebih awal 15-21 hari dari pertanaman yang ada disekelilingnya, penggunaan perangkap sejuta bambu dengan spesipikasi panjang 2 m dan 1,5 m dengan diameter 10-12 cm, pada setiap ruasnya dibuat lubang yang akan digunakan tikus sebagai tempat bersembunyi dan istirahat, pengunaan letupan mercon yang diletakkan pada lubang aktif.

Pengendalian biologis dapat berupa : pengendalian populasi tikus secara biologis yaitu dengan penggunaan predator dan parasit. Predator tikus antara lain anjing, musang, burung hantu, burung elang dan ular. Penggunaan parasit (virus, bakteri, protozoa), sebagai contoh penggunaan Salmonella enteriditis, penggunaan predator anjing yang dilatih sejak umur 2 bulan dan dipandu oleh satu atau dua orang.  Sedangkan pengendalian kimiawi dapat berupa : penggunaan fumigasi (emposan), yaitu pembakaran belerang dengan jerami akan menghasilkan senyawa SO2 dan Co yang toxic terhadap tikus. Sebaliknya fumigasi dilakukan saat pengolahan tanah dan fase anakan. Tindakan emposan sebaiknya dilaksana-kan pada fase bera dan fase generatif, penggunaan umpan beracun (rodentisida), baik dari jenis akut maupun yang kronis (Tabel 1). Penggunaan umpan beracun sebaiknya dilaksanakan pada fase bera dan fase generatif, penggunaan brodifacum, yakni antikoagulan yang dapat membunuh 100% dengan satu kali pemberian, penggunaan umpan dengan komposisi beras 15%, ubi kayu 25%, telur 10%, ubu jalar 3%, kepiting 15%, kelapa 12%. Disamping cara tersebut di atas, pengendalian kimiawi dapat menggunakan rodentisida, baik yang sifat akut maupun anti koagulan.

RESENSI TEKNOLOGI PENGENDALIAN TIKUS
Implementasi pengendalian hama tikus di lapangan menghadapi beberapa kendala yang dapat memperlambat atau bahkan menggagalkan operasional kegiatan dalam jangka panjang. Kendala-kendala tersebut sebagai berikut:
1.   Petani cepat merasa puas setelah berhasil membunuh tikus dalam jumlah banyak, sehingga tindakan/gerakan pengendalian pada musim berikutnya mengendor atau bahkan terhenti sama sekali.
2.       Inisiatif petani/kelompok tani sangat terbatas dan senantiasa sangat tergantung pada adanya bantuan atau komando dari pihak pemerintah.
3.       Penggunaan sarana pengendalian seperi rodentisida dan alat emposan membutuhkan dukungan dana yang relatif agak mahal, sementara kondisi sosial-ekonomi petani sangat lemah. Sarana tersebut sangat diperlukan pada kondisi tenaga kerja yang terbatas menghadapi areal yang perlu dikendalikan sangat luas.
4.       Keterbatasan jumlah aparat penyuluh dalam mengkover jumlah petani yang besar berdampak kepada terbatasnya informasi teknologi yang diterima petani.
5.     Sanitasi habitat terkadang hanya menyentuh daerah sekitar persawahan saja, sedangkan infrastruktur fasilitas umum seperti saluran irigasi, kawasan perkantoran yang juga dapat menjadi tempat bersembunyinya tikus tidak terjamah oleh tindakan pengendalian.


DAFTAR PUSTAKA     
Anonim. 1984. Pengendalian Hama Tikus. Bhratara Karya Aksara-jakarta. 37 hal.
BPTP IX. 1992. Evaluasi Luas Tanam, Bencana Alam dan serangan OPT pada Padi Sawah Selama 18 MT (MT 1983 - 1992) Propinsi Sulawesi Selatan. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Balai Proteksi Tanaman Pangan IX, Maros, Ujung Pandang.
Brook J. E. and F. P. Rowe. 1979. Comensal rodent control. Mimeograph WHO/VBC/79726 : 100 hal.
Colvin, Bruce. A. 1990. Habitat manipulation for rodent control. In Rodent and rice report and proceeding of an Expert Panel Meeting on Rice Rodent Control IRRI. Los Banos. Sept 10-14,1990.
Direktorat Perlindungan Tanaman pangan. 1992. Tikus Sawah. Kerjasama Teknik Indonesia-Jepang Bidang Perlindungan tanaman Pangan (ATA-162):10 hal.
Indarto, N. 1984. Five year rat control program in Indonesia. In The organization and practice of veterbrate pest control. pp. 475-485.ICI Fern hurst United Kingdom.
Murakami Okimata, Joko priyono and Harsiwi Triastini.1990. Population management of of rice field rat in Indonesia. In Rodent and Rice report and Proceeding of an Expert panel meeting on Rice Rodent Control. IRRI Los Banos.Sept.10-14,1990.
Rochman, Dandi, S., dan Suwulan.1982. Pola perkembangbiakan tikus sawah Rattus argentiventer pada daerah berpola tanam padi-padi di Subang. Penelitian Pertanian 3(2):77-80
Rochman dan S. Dandi. 1991. Pengendalian Hama Tikus. Dalam Buku III Pusat penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Rochman, Sudarmadji dan Hasanuddin, A. 1998. Masalah hama tikus dan cara pengendaliannya pada sistem usahatani di lahan Pasang Surut. Prosiding Seminar nasional hasil Pnelitian Menunjang Akselerasi Pengembangan Lahan Pasang Surut. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Balai Penelitian Lahan Rawa.
Tandiabang, J. dan Koesnang. 1999. Strategi pengendalian tikus sawah Rattus argentiventer. Seminar Ilmiah dan Pertemuan tahunan XI PEI, PFI dan HPTI Sul-Sel. Maros 5 Desember 1998.
Thamrin, M., S. Asikin, dan B. Prayudi. 1998. Pengendalian hama tikus dalam budidaya padai di lahan rawa pasang surut. Prosiding Seminar nasional hasil Penelitian Menunjang Akselerasi Pengembangan Lahan Pasang Surut. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Balai Penelitian .