Sunday, June 21, 2020

PENGELOLAAN HAMA ULAT GRAYAK


Ayyub Arrahman dan M.Sudjak Saenong
Balai Penelitian Tanaman Serealia Maros



PENDAHULUAN

Peluang peningkatan produksi jagung dalam negeri masih terbuka lebar, baik melalui peningkatan produktivitas maupun perluasan areal tanam utamanya pada lahan kering di luar Jawa. Meskipun produktivitas  jagung  nasional  meningkat,  namun  secara  umum  tingkat  produkivitas  biji  jagung nasional  masih  rendah  yaitu  baru  mencapai  3,11  t/ha  pada  tahun  2002  (Ditjen  Bina  Produksi Tanaman  Pangan,  2003).  Kegiatan  berbagai  institusi  baik  pemerintah  maupun  swasta  telah mampu  menyediakan  teknologi  produksi  jagung  dengan  tingkat  produktivitas  4,5-10,0  t/ha tergantung  pada  kondisi  lahan  dan  penerapan  teknologinya.    Namun  demikian  target  yang diharapkan  sering  tidak  dapat  dicapai  karena  adanya  berbagai  kendala.  Swastika  et  al  (2004) melaporkan  bahwa  masalah  yang sering dihadapi  dalam  meningkatkan produksi jagung nasional telah diidentifikasi dan dikelompokkan. Salah satu masalah produksi adalah cekaman lingkungan baik cekaman abiotis maupun biotis. Cekaman biotis berupa gangguan hama, gulma, dan penyakit sering  menimbulkan  kehilangan  hasil  yang  cukup  nyata.  Ulat  grayak  (Spodoptera  litura)  dapat merusak tanaman 5% sampai 50% (Metcalf dan Metcalf 1993).

Biologi Ulat grayak
Ciri-ciri hama :

Ngengat dengan sayap bagian depan berwarna coklat atau keperak-perakan, sayap belakang berwarna keputihan, aktif pada malam hari.

Telur berbentuk hampir bulat dengan bagian datar melekat pada daun (kadang tersusun 2 lapis), warna coklat kekuning-kuningan, berkelompok (masing-masing berisi 25 – 500 butir) tertutup bulu seperti beludru.

Larva mempunyai warna yang bervariasi, yang baru menetas berwarna hijau muda, bagian sisi
coklat tua atau hitam kecoklatan dan hidup berkelompok.

Siklus hidup berkisar antara 30 – 60 hari (lama stadium telur 2 – 4 hari, larva yang terdiri dari 5
instar : 20 – 46 hari, pupa 8 – 11 hari).

Serangan :

Ulat menyerang tanaman pada malam hari, dan pada siang hari bersembunyi dalam tanah
(tempat yang lembab).

Larva yang masih kecil merusak daun dan menyerang secara serentak berkelompok. dengan
meninggalkan sisa-sisa epidermis bagian atas, transparan dan tinggal tulang-tulang daun saja,
sedang larva berada di permukaan bawah daun.
Biasanya ulat berpindah ke tanaman lain secara bergerombol dalam jumlah besar.
Serangan umumnya terjadi pada musim kemarau.
Tanaman Inang Hama ini bersifat polifag, selain jagung juga menyerang tomat, kubis, dan
tanaman lainnya.

Pengendalian (Muhammad Arifin, 2012)
Menurut Muhammad Arifin (2012) komponen pengendalian ulat grayak dapat dilakukan dengan
berbagai cara yang dapat dipadukan, yaitu:

1. Pangaturan cara bercocok tanam
Cara ini dimaksudkan untuk menciptakan lingkungan yang kurang menguntungkan bagi ulat grayak
untuk  bertahan  hidup,  tumbuh  dan  bereproduksi.  Pengendalian  dengan  cara  ini  biasanya  tidak
memberikan  hasil  yang  memuaskan  karena  sifatnya  hanya  mengurangi  populasi  ulat.  Meskipun
demikian,  cara  ini  menguntungkan  apabila  diterapkan  dalam  program  PHT  karena  menciptakan
lingkungan  yang  relatif  stabil  dan  tidak  memberikan  hasil  pengendalian  yang  bera gam,  seperti
yang dihasilkan bila mengandalkan insektisida saja. Pengaturan cara bercocok tanam, antara lain
meliputi pengaturan pergiliran tanaman yang disertai bertanam serempak dan bertanam dengan
sistem tumpang sari.

Penanaman  kedelai  sebaiknya  dilakukan  sekali  setahun  pada  akhir  musim  hujan,  setelah  panen
padi.  Kedelai  yang  ditanam  pada  waktu  tersebut  relatif  terlindung  dari  serangan  ulat  grayak
karena selama musim tanam padi, pakan tidak tersedia dengan cukup sehingga populasi ulat jauh
berkurang.  Apabila  kedelai  ditanam  untuk  kedua  kalinya  pada  pertengahan  musim  kemarau,

Pengelolaan Hama Ulat Grayak
Umumnya terserang oleh ulat grayak karena selama musim tanam kedelai pertama, pakan tersedia
dengan cukup sehingga peluang ulat grayak untuk tumbuh dan bereproduksi lebih besar.

2. Cara fisik dan mekanis
Pengendalian  fisik  dan  mekanis  merupakan  cara  yang  langsung  atau  tidak  langsung  mematikan serangga,  mengganggu  fisiologi  serangga  dengan  cara  yang  berbeda  dengan  insektisida,  atau merubah lingkungan nenjadi tidak menguntungkan bagi serangga hama. Cara ini kurang populer karena informasi tentang bioekologi serangga tidak cukup tersedia. Oleh karena itu, peranannya di dalam  PHT  relatif  kecil  dan  harus  dipadukan  dengan  cara  lain.  Cara  fisik  dan  mekanis  yang dianjurkan  dalam  mengendalikan  ulat  grayak  adalah  dengan  memungut  dan  memusnahkan kelompok telur yang ditemukan.

3. Pemanfaatan musuh alami
Untuk memanfaatkan musuh alami ulat grayak, dilakukan usaha konservasi yang tujuannya adalah
untuk  meningkatkan  efektivitas  musuh  alami  tersebut  di  lapang.  Misalnya,  dalam  usaha
memanipulasi  lingkungan  untuk  mengejar  hasil  panen  yang  tinggi,  insektisida  harus  digunakan secara  selektif  terhadap  hama  sasaran  demikian  pula  caranya,  harus  dengan  dosis,  formulasi,
waktu dan frekuensi aplikasi yang cocok.
Saat  ini  Balittan  Bogor  sedang  meneliti  pemanfaatan  nuclear  polyhadrosis  virus  (NPV)  untuk
mengendalikan ulat grayak. Usaha pemanfaatan NPV ini didasarkan atas kenyataan bahwa pada
tahun  1985  di  Lampung  Tengah  dan  Brebes  (Jawa  Tengah)  dijumpai  ulat  graya k  yang  mati
terserang  NPV.  Setelah  dilakulkan  pengujian  LC50 di  laboratorium,  terbukti  bahwa  ulat  grayak
rentan terhadap NPV (6). Hasil pengujian lanjutan di rumah kaca menunjukkan bahwa konsentrasi
NPV sebesar 2,3 X 107 polyhedra inclusion bodies  (PIBs)/ml yang diaplikasikan sebanyak 50 ml/m2
efektif untuk mengendalikan ulat grayak instar I-III (1). Kenyataan tersebut membuka peluang baru
bagi  terciptanya  pengendalian  hayati  ulat  grayak  dengan  NPV,  terutama  untuk  daerah-daerah
yang ulat grayaknya tahan terhadap insektisida.

4. Penggunaan insektisida
Insektisida  harus digunakan  secara  selektif,  sebagai  pilihan  terakhir  apabila  populasi  hama  tidak dapat  dikendalikan  dengan  cara  lain  dan  apabila  telah  mencapai  ambang  ekonomi.  Aplikasi insektisida harus dilakukan sedini mungkin pada saat ulat mencapai instar I-III yang relatif rentan terhadap  insektisida  (11).  Apabila  aplikasi  dilakukan  pada  saat  ulat  telah  mencapai  instar  IV -VI, pengendaliannya kemungkinan besar tidak mengenai sasaran karena selain relatif tahan terhadap insektisida, ulat biasanya bersembunyi di dalam tanah selama siang hari. Di samping itu, dengan daya  makan  ulat  yang  besar  dan  cepat,  maka  tindakan  pengendalian  terhadap  ulat  instar  IV-VI dikhawatirkan terlambat karena tanaman telah mengalami kerusakan berat.  Jenis-jenis insektisida yang  direkomendasikan  untuk  mengendalikan  ulat  grayak  adalah  triflumuron,  permetrin, klorfluazuron,  monokrotofos,  diazinon,  kuinalfos,  karbaril,  sipermetrin,  decametrin,  endosulfan, pentoat, thiazofos, isosaktion, metonil, tiodikarb dan metamidofos (8).

DAFTAR PUSTAKA DAN BACAAN

Arifin, M.2012. Teknologi Pengendalian Ulat Grayak (Spodoptera  litura F.) pada Tanaman Kedelai.
http://muhammadarifindrprof.blogspot.com/2011/02/22-teknologi-pengendalian-ulatgrayak.html. Diakses tgl 13 Desember 2012.

Arifin, M. 1988. Pengaruh konsentrasi dan volume  nuclear polyhedrosis virus  terhadap kematian
ulat grayak kedelai (Spodoptera litura). Penelitian Pertanian. 8(1): 12-4.

Arifin,  M.  dan  W.I.S.  Waskito.  1996.  Kepekaan  ulat  grayak  kedelai  (Spodoptera  litura)  terhadap nuclear polyhedrosis virus . Ibid. 1 (Palawija): 74-8.

Ditlintan.  1987.  Pestisida  untuk  pertanian  dan  kehutanan.  Direktorat  Perlindungan  Tanaman
Pangan, Jakarta. 206 p.

Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan. 2003. www. Deptan.go.id.

Gerbang  Pertanian,  2012.  http://www.gerbangpertanian.com/2012/11/mengendalikan-ulatgrayak-pada-tanaman.html. Diakses tgl 13 Desember 2012

Laba, I W. dan D. Soekarna. 1986. Mortalitas larva ulat grayak (Spodoptera litura  F.) pada berbagai
instar dan perlakuan insektisida pada kedelai. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan. 1 (Palawija): 64-8.

Metcalf, RL and RA Metcalf. 1993. Destructive and useful insects, their habits, and their control.
Fifth Edition. Mc Grow-Hill, Inc.

Muhammad  Arifin,  2012.  Teknologi  Pengendalian  Ulat  Grayak  (Spodoptera  litura  F.)  pada
Tanaman  Kedelai  .  http://muhammadarifindrprof.blogspot.com/2011/02/22-teknologipengendalian-ulat-grayak.html. diakses tgl 13 Desember 2012.

Nyayu  Fatimah  Zahrah,  2012.  Pengaruh  Iklim  Terhadap  Hama  Ulat  Grayak  (Spodoptera  Litura
Fabricius)  Pada  Tanaman  Kacang  Kedelai  (Glycine  Max  (L.) Merill). http://nyayufatimahzahroh.wordpress.com/2012/06/23/pengaruh-iklim-terhadap-hamaulat-grayak-spodoptera-litura-fabricius-pada-tanaman-kacang-kedelai-glycine-max-lmerill/. Diakses tgl 13 Desember 2012.

Reza  Pahlevi  Barasi,  2012.  Pengendalian  Hama  Penyakit  Tanaman  Jagung  .
http://rezabarazi.blogspot.com/2011/11/pengendalian-hama-penyakit-tanaman.html.
Diakses tgl 13 Desember 2012.

Tanindo,  2012.  Hama  jagung.
http://www.tanindo.com/index.php?option=com_content&view=section&layout=blog&id
=37&Itemid=40. Diakses tgl 13 Desember 2012.

Swastika,  K.S.  Dewa.,  F.  Kasim,  W.  Sudana,  Rachmat  Hendayani,  Kecuk  Suhariyanto,  Robert  V. Gerpacio,  and  Parabhu  L.  Pingali,  2004.  Maize  in  Indonesia,  Production  systems,
constraints, and Research Priorities . CIMMYT.