Sunday, May 30, 2021

HASIL-HASIL TEKNOLOGI PENELITIAN ULAT GRAYAK


Ayyub Arrahman

Balai Penelitian Tanaman Serealia Maros


PENDAHULUAN

Jagung merupakan sumber karbohidrat dan protein yang dapat digunakan sebagai bahan pangan , pakan ternak, dan bahan baku untuk industri. Akhir-akhir ini pemgembangan jagung di Indonesia semakin pesat sejalan dengan meningkatnya kebutuhan akan jagung khususnya untuk pakan ternak ( Subandi et al, 2001). Di lain pihak pengembangan jagung yang intensif juga mengakibatkan munculnya berbagai masalah baik penurunan produksi maupun kualitas biji. Penurunan produksi maupun kualitas biji jagung sangat ditentukan oleh faktor abiotik dan biotik, faktor biotik berupa hama dan penyakit.

Ulat grayak (S. litura) merupakan salah satu hama utama pada tanaman jagung yang dapat mengakibatkan kehancuran atau musnahnya tanaman muda sedangkan untuk tanaman yang lebih tua dapat mengganggu proses pertumbuhan tanaman karena ulat ini memakan helaian daun muda sedikit demi sedikit sehingga yang tersisa hanya tulang daun. Hasil data yang diperoleh bahwa luas serangan ulat grayak pada tanaman jagung di Indonesia mengalami peningkatan daritahun ketahun (BPS, 1996). S. litura merupakan serangga yang bersifat polifag dan sangat umum sebagai hama tanaman pertanian yaitu selain menyerang tanaman jagung juga menyerang tanaman kacang tanah, kedelai, kacang.

Atribut Biologi Ulat Grayak

Kemampuan ulat grayak merusak tanaman jagung berkisar antara 5-50%. Ngengat aktif malam hari, sayap bagian depan ber-warna coklat atau keperak-perakan, sayap belakang ber-warna keputihan. Telur berbentuk hampir bulat dengan bagian datar melekat pada daun (kadang tersusun 2 lapis), warna coklat kekuning-kuningan, berkelompok (masing-masing berisi 25 – 500 butir) tertutup bulu seperti beludru. Larva mempunyai warna yang bervariasi, ulat yang baru menetas berwarna hijau muda, bagian sisi coklat tua atau hitam kecoklatan dan hidup berkelompok. Ulat menyerang tanaman pada malam hari, dan pada siang hari bersembunyi dalam tanah (tempat yang lembab). Biasanya ulat berpindah ke tanaman lain secara bergerombol dalam jumlah besar. Pupa, ulat berkepompong dalam tanah, membentuk pupa tanpa rumah pupa (kokon) berwana coklat kemerahan dengan panjang sekitar 1,6 cm.
Siklus hidup berkisar antara 30 – 60 hari (lama stadium telur 2 – 4 hari, larva yang terdiri dari 5 instar : 20 – 46 hari, pupa 8 – 11 hari).

Hasil-Hasil Penelitian Ulat Grayak

Penelitian Rugaya (2008) tentang ulat grayak menunjukkan bahwa hasil pengamatan ulat grayak (Spodoptera litura) menunjukkan bahwa pada pengamatan 1 minggu setelah tumbuh, padat populasi ulat grayak berkisar antara 3 ekor/20 batang sampai 33 ekor/ 20 batang. Padat populasi ulat grayak di bawah 10 ekor/ 20 batang ditemukan pada perlakuan daun nimba 0,5 kg/ 10 ltr air (A), daun nimba 2,0 kg/ 10 ltr air (D) dan daun nimba 2,5 kg/ 10 ltr air (E). Perlakuan konsentrasi nimba lainnya berkisar 13 ekor- 20 ekor/ 20 batang jauh di bawah kontrol yang mencapai 33 ekor/20 batang. Hasil pengamatan pada 2,3 dan 4 MST tidak berbeda dengan keadaan populasi pada 1 MST, yaitu pada petak kontrol selalu lebih tinggi dibandingkan pada petak yang mendapat perlakuan daun nimba.

Penelitian Yasin, Rugaya dan Sudjak Saenong (2005), efikasi insektisida Meteor 25Ec nampak bahwa kepadatan populasi ulat S. litura saat tanaman berumur 2 minggu, cukup tinggi yaitu berkisar 20 ekor sampai 25 ekor/12 batang tanaman. Populasi ulat grayak tersebut tersebar merata pada petak-petak perlakuan. Pengamatan 3 MST terlihat nilai efikasi insektisida (EI) pada setiap petak bervariasi, Meteor 25 EC konsentrasi 0,5 ml/l, 1,0 ml/l, dan 2,0 ml/l masing-masing adalah 6,67%, 20,00%, dan 23,33%. Sedangkan nilai EI pada petak-petak yang diaplikasi insektisida Meteor 25 EC konsentrasi 4,0 ml/l mencapai 40,00%. Pada pengamatan 4 MST, nilai EI pada perlakuan Meteor 25 EC konsentrasi 4,0 ml/l mencapai 58,33%, sedangkan perlakuan lain masih dibawah 50%. Pada pengamatan 5 MST dua perlakuan yaitu perlakuanMeteor 25 EC konsentrasi 2,0 ml/l dan 4,0 ml/l dengan nilai EI diatas 50% (Tabel 2). Pengamatan 6 MST, perlakuan yang mempunyai EI ≥ 50% yaitu perlakuan Meteor 25 EC konsentrasi 2,0 ml/l, 4,0 ml/l, dan perlakuan insektisida Buldok 25 EC konsentrasi 2,0 ml/l yang mempunyai EI ≥ 50%. Meteor 25 EC konsentrasi 4,0 ml/l efektif mengendalikan ulat grayak karena mempunyai nilai EI ≥ 50%, bahkan pada pengamatan 6 MST nilai efikasi insektisidanya adalah 90,90%. Pengamatan pada 2 MST terlihat kerusakan daun jagung berkisar 17% dan tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata antara perlakuan. Pengaruh aplikasi insektisida jelas terlihat pada pengamatan 4 MST, 5 MST, dan 6 MST. Pada pengamatan tersebut tampak bahwa perlakuan Meteor 25 EC konsentrasi 2,0 ml/l dan 4,0 ml/l sangat efektif mengendalikan ulat grayak.

Populasi H. armigera pada 3 MST masih rendah pada petak-petak pengujian. Hama tersebut mulai meningkat populasinya pada pengamatan 4 MST. Pengamatan 4 MST nilai efikasi insektisida tertinggi tercatat pada Meteor 25 EC konsentrasi 4,0 ml/l yaitu 71,48%, sedangkan Meteor 25 EC konsentrasi 2,0 ml/l mempunyai nilai efikasinya tercatat 50%. Nilai efikasi insektisida Meteor 25 EC konsentrasi 2,0 ml/l lebih tinggi dibanding insektisida pembanding Buldok 25 EC konsentrasi 2,0 ml/l yang mempunyai nilai EI 42,86%. Hal ini sama dengan pengamatan 6 MST dan 12 MST, Meteor 25 EC konsentrasi 2,0 ml/l dan 4,0 ml/l sangat efektif mengendalikan penggerek tongkol bahkan lebih efektif dibandingkan dengan perlakuan insektisida Buldok 25 EC konsentrasi 2,0 ml/l (Tabel 3). Sembilan kali pengamatan terlihat bahwa perlakuan insektisida Meteor 25 EC konsentrasi 2,0 ml/l dan 4,0 ml/l mempunyai nilai EI rata-rata diatas ≥ 50%. Pada penelitian Surtikanti dan Yasin (2012), efektivitas cendawan Beauveria bassiana Vuill menunjukkan bahwa berdasarkan hasil pengamatan mortalitas larva S. litura instar II yang terinfeksi oleh cendawan entomopatogenik B. bassiana pada kodisi laboratorium memperlihatkan efektifitas yang bervariasi. Tiap-tiap isolat memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam mematikan larva S. litura yang berkaitan dengan asal inang, lokasi dan ketahanan inang.

Pada pengamatan 2 HSI terlihat bahwa cendawan B. bassiana dapat menyebabkan kematian pada larva S. litura yang dijumpai pada semua perlakuan dan berbeda nyata dengan kontrol. Pada perlakuan P5 (isolat B. bassiana Sengkang) mampu mematikan larva S. litura 6,35% sedangkan isolat Enrekang, Soppeng, Maros dan Kariango masing-masing hanya sekitar 2,15 sampai 2,79 %. Data tersebut menunjukkan bahwa efektivitas dari beberapa isolat cendawan B. bassiana terhadap larva S. litura sangat bervariasi. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Feng dan Johnson dalam Nurlaelah (1997), bahwa setiap isolat cendawan B. bassiana mempunyai daya bunuh yang berbeda-beda terhadap serangga sasarannya. Mortalitas larva ini dapat disebabkan oleh larva yang telah memakan daun-daun jagung yang telah dicelup suspensi cendawan B. bassiana, karena infeksi cendawan dapat melalui saluran pencernaan. Hal ini disebabkan pada saluran pencernaan larva dapat dihasilkan zat yang bersifat asam yang membantu menginfeksi saluran pencernaan. Hal ini sesuai pula yang dikemukakan oleh Sila (1983) bahwa, penetrasi cendawan paling mudah melalui saluran percernaan. Hasil pengamatan 4 HSI terlihat bahwa mortalitas larva S. litura akibat infeksi cendawan meningkat hingga 53,28% pada perlakuan P5.

Pengamatan 2 hari berikutnya terlihat bahwa mortalitas larva S. litura terus mengalami peningkatan dan pada perlakuan P5, mortalitas larva mencapai 80,00% sedangkan pada P2 dan P4 mortalitas larva hanya 50,00% yang berbeda nyata dengan perlakuan P1 dan P3 yang masih di bawah 50,00%. Meningkatnya daya bunuh cendawan B. bassiana disebabkan terjadinya kontak antara larva dan spora cendawan. Terjadinya kontak yang terus menerus akan meningkatkan daya bunuh cendawan B. bassiana terhadap serangga inangnya. Menurut Kardin dan Priyatno (1996), bahwa mortalitas dapat disebabkan karena inang yang terinfeksi B. bassiana dapat berfungsi sebagai sumber inokulum sekunder bagi inang yang lain. Selain itu peningkatan mortalitas larva akibat infeksi cendawan dapat pula melalui system pernafasan yang memiliki dinding yang tipis sehingga cendawan lebih mudah melakukan penetrasi sehingga sistem pernafasan larva terganggu dan mengakibatkan kematian. Pengamatan 8 HSI mortalitas larva semakin tinggi, hal ini disebabkan semakin berkembangnya spora cendawan di dalam tubuh larva. Kematian larva ini dapat pula disebabkan oleh infeksi spora melalui kutikula. Semakin tipis kutikula akan semakin mudah terjadi penetrasi. Pengamatan pada 10 HSI persentase mortalitas larva S. litura akibat infeksi cendawan dapat mencapai 100% pada perlakuan P5. Menurut Ou (!972), persentase mortalitas akibat infeksi cendawan B. bassiana antara 60 sampai 100% dikategorikan tinggi. Keseluruhan pengamatan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa isolat B. bassiana Sengkang lebih efektip mematikan larva S. litura dibandingkan isolat –isolat lain. Perbedaan virulensi dapat pula dipengaruhi oleh perbedaan strain dari cendawan tersebut (Wiryadiputra,1994). Peningkatan mortalitas larva S. litura mulai dari pengamatan 2 HSI sampai 10 HSI, menunjukkan bahwa tingkat efektifitas dari beberapa isolat B. bassiana sangat bervariasi. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sila (1983) bahwa kematian serangga inang sangat bervariasi antara 2 – 14 hari setelah inokulasi, tetapi ada pula yang kurang dari 24 jam. Kasumbogo (1993) menyatakan bahwa proses perkembangan cendawan dalam tubuh inang sampai mati berjalan sekitar 7 hari.

DAFTAR PUSTAKA DAN BACAAN

Anonim, 2012a. Opt Utama Pada Tanaman Jagung.
Http://Pustaka.Litbang.Deptan.Go.Id/Bppi/Lengkap/Optjagung.Pdf. Diakses Tgl 15 Desember 2012.

Balitsereal. 2004. Rencana Strategis (Renstra) Balai Penelitian Tanaman Serealia 2005 – 2009. Pusat Penelitian dan Pengembangan pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

Balai Proteksi Sul-Sel. 2004. Laporan Tahunan Laboratorium Pengamatan dan Peramalan BPTPH - Maros, Sulawesi Selatan.

Direktorat Jenderal Bina Sarana Pertanian. 2004. Standar Pengujian Insektisida. Hal.1-151.

Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pests of Crops in Indonesia, Ichtiar Baru, Jakarta. Hal.60 – 280 pp.

Kasumbogo Untung. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Nurlaelah. 1997. Uji Beberapa Konsentrasi Spora Cendawan Beauveria bassiana Vuill. Terhadap Mortalitas Wereng Jagung (Peregrinus maydis Ashm.) Secara In vitro. Tesis Sarjana FMIPA UNHAS Makassar.

Rugaya, 2012. Pengendalian Hama Jagung Dengan Menggunakan Biopestisida Daun Nimba Http://Www.Peipfi-Komdasulsel.Org/Wp-Content/Uploads/2011/06/43-A.RUGAYYA-Pengendalian-Hama-Jagung-390-396.Pdf. Diakses Tgl 15 Desember 2012.

Ou, S. H. 1972. Rice Disease, Plant Pathology. International Rice Institute, Los Banos, Philippines.

Sila, M. 1983. Microbial Control of Drywood termites, Cryptotermes, Cyanocephaleshight (Kolotermitidae, Isoptera). MSc. Tesis UPLB at Los Banos.

Statistik Indonesia. 1996. Biro Pusat Statistik, Jakarta – Indonesia.

Surtikanti dan Yasin, 2012. Tingkat Mortalitas Ulat Grayak (Spodoptera Litura) Akibat Pencelupan Suspensi Beberapa Isolat Beauveria Bassiana Vuill http://www.peipfi-komdasulsel.org/wp-content/uploads/2012/03/13-TINGKAT-MORTALITAS-SURTIKANTI-13.pdf. Diakses tgl 15 Desember 2012.

Wiryadiputra, S. 1994. Prospek dan Kendala Pengembangan Jamur Entomopatogenik, Beauveria bassiana untuk Pengendalian Hayati Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei). Jurnal Pelita Perkebunan. Vol. X (3).